MENJALANKAN
BISNIS SECARA ETIS DAN BERTANGGUNG JAWAB
Etika
Individual
Karena didasarkan pada konsep sosial dan keyakinan
perorangan, etika dapat bervariasi dari satu orang ke orang lainnya, dari satu
situasi ke situasi lainnya, serta dari satu budaya ke budaya lainnya. Cakupan
standar sosial, cenderung cukup mendukung beberapa perbedaan keyakinan. Tanpa
melanggar standar umum suatu budaya, individu dapat mengembangkan kode etik
pribadi yang mencerminkan beragam sikap dan keyakinan.
Dengan demikian, perilaku etis dan tidak etis sebagian
ditentukan oleh individu dan sebagian ditentukan oleh budaya. Sebagai contoh,
sesungguhnya setiap orang sepakat bahwa jika Anda melihat seseorang menjatuhkan
uang Rp. 100.000,00-nya, Anda bertindak etis dengan mengembalikannya kepada si
pemilik. Akan tetapi Anda tidak dapat seyakin itu kalau menemukan uang Rp.
100.000,00 dan tidak tahu siapa yang menjatuhkannya?
Ambiguitas,
Hukum, dan Dunia Nyata
Masyarakat umumnya menerapkan undang-undang formal yang
mencerminkan standar etis atau norma sosial yang berlaku. Sebagai contoh,
karena kebanyakan orang menganggap pencurian merupakan perilaku tidak etis,
kita mempunyai undang-undang melawan perilaku tersebut dan cara menghukum orang
yang mencuri. Kita berupaya membuat undang-undang yang tidak bersifat ambigu,
namun penafsiran dan penerapannya dapat menyebabkan ambiguitas. Situasi dunia
nyata sering dapat ditafsirkan berbeda, dan menerapkan aturan baku ke dunia
nyata tidak selalu mudah (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).
Sayangnya, epidemi skandal terbaru yang berkisar dari
Arthur Anderson, Enron hingga Martha Stewart, Tyco, dan WorldCom hanya sebatas
menunjukkan seberapa besar orang ingin memanfaatkan situasi yang secara
potensial bersifat ambigu – situasi inilah yang sesungguhnya memunculkan
skandal tersebut (Penelope Patsuris, 2002). Pada tahun 1997, perusahaan Amerika Serikat bernama Tyco secara efektif
menjual dirinya dalam merger dengan sebuah
perusahaan yang bernama ADT Ltd. ADT lebih kecil dari Tyco, tetapi karena
perusahaan induk barunya itu berbasis di wilayah
tanpa pajak Bermuda, Tyco tidak lagi harus membayar
pajak Amerika Serikat atas pendapatan non-AS-nya. Pada tahun 2000 dan 2001,
jumlah cabang-cabang Tyco di negara-negara yang “ramah
pajak” menjadi dua kali lipat dari 75 menjadi
150, dan perusahaan menghindari tagihan pajak Amerika Serikat tahun 2001-nya
sebesar $600 juta. “Tyco,” keluh seorang anggota
senat Amerika Serikat, “telah melakukan seni
menghindari pajak,” namun seorang ahli pajak berpendapat bahwa skema Tyco “sangat
konsisten” dengan peraturan pajak Amerika Serikat (www.tyco.com).
Kode dan
Nilai Individu
Bagaimana kita berhadapan dengan perilaku bisnis yang
kita anggap tidak etis, khususnya bila bersifat ambigu secara hukum ? Jelas
kita harus mulai dengan individuindividu dalam bisnis – manajer, karyawan,
agen, dan perwakilan hukum lainnya. Kode etik pribadi masing-masing orang ini
ditentukan oleh kombinasi sejumlah faktor. Kita mulai membentuk standar etis
sebagai seorang anak sebagai tanggapan kita atas perilaku orang tua dan orang
dewasa lainnya. Kemudian kita masuk sekolah, di mana kita dipengaruhi teman-teman
sekolah, dan ketika kita tumbuh menjadi dewasa, pengalaman membentuk hidup kita
dan berkontribusi pada keyakinan etis dan perilaku kita. Kita juga
mengembangkan nilai-nilai dan moral yang berkontribusi pada standar etis. Jika
Anda menempatkan pendapatan financial pada puncak daftar prioritas Anda, Anda
bisa mengembangkan satu kode etik yang mendukung pengejaran kenikmatan
material, Jika Anda menempatkan keluarga dan teman sebagai prioritas, Anda akan
menganut standar yang berbeda (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).
Etika
Bisnis dan Etika Manajerial
Etika manajerial merupakan standar perilaku yang memandu
manajer dalam pekerjaan mereka. Walaupun etika Anda dapat mempengaruhi kerja
Anda dalam sejumlah hal, tidak ada ruginya menggolongkan dalam tiga kategori
yang luas.
Perilaku
Terhadap Karyawan
Kategori ini meliputi materi seperti merekrut dan
memecat, menentukan kondisi upah dan kerja, serta memberikan privasi dan
respek. Pedoman etis dan hukum mengemukakan bahwa keputusan perekrutan dan
pemecatan harus didasarkan hanya pada kemampuan karyawan melakukan pekerjaan.
Manajer yang mendiskriminasi orang Amerika keturunan Afrika
dalam perekrutan menunjukkan perilaku yang tidak etis dan melawan hukum
(ilegal). Tetapi bagaimana dengan manajer yang
merekrut teman atau sanak keluarga ketika masih ada orang lain yang lebih memenuhi syarat ? Keputusan itu
mungkin tidak melawan hukum; namun secara etis
tidak dapat diterima.
Upah dan kondisi kerja, walaupun
diatur oleh undang-undang, juga merupakan bidang yang kontroversial.
Bayangkanlah situasi di mana seorang manajer membayar seorang pekerja kurang
dari selayaknya karena ia tahu bahwa karyawan itu harus bekerja atau tidak bisa
mengeluh lantaran takut diberhentikan.
Walaupun beberapa orang akan melihat
perilaku itu tidak etis, yang lain akan
melihatnya
sebagai taktik bisnis yang cerdas. Kasus-kasus seperti ini cukup sulit untuk dinilai,
tetapi perhatikanlah perilaku manajemen Enron terhadap karyawan perusahaan (Penelope
Patsuris, 2002). Manajemen tersebut mendorong karyawan menginvestasikan dana pensiun
dalam saham perusahaan dan kemudian, ketika masalah finansial mulai muncul ke permukaan,
tidak mengizinkan mereka menjual saham. Akhirnya, pembubaran perusahaan itu mengorbankan
ribuan karyawan.
Perilaku
terhadap Organisasi
Isu etis juga muncul dari perilaku
karyawan terhadap majikannya, khususnya dalam kasus seperti konflik
kepentingan, kerahasiaan, dan kejujuran. Konflik kepentingan terjadi karena
suatu aktivitas bisa menguntungkan individu dengan merugikan pihak majikannya. Sebagai
contoh, kebanyakan perusahaan memiliki kebijakan yang melarang bagian pembelian
menerima hadiah-hadiah dari pemasok. Industri-industri yang bersaing ketat – perangkat
lunak dan pakaian mode, misalnya – mempunyai penjaga keamanan (safeguard)
terhadap perancang yang menjual rahasia perusahaan ke pesaing. Masalah yang
relatif umum di bidang kejujuran umumnya mencakup perilaku seperti mencuri
pasokan, menggelembungkan laporan biaya, dan menggunakan telepon kantor untuk melakukan
panggilan jarak jauh pribadi. Kebanyakan karyawan sebetulnya jujur, tetapi kebanyakan
organisasi tak pernah waspada. Lagi-lagi, Enron merupakan contoh tepat dari perilaku
karyawan yang tidak etis terhadap sebuah organisasi. Para manajer puncak tidak hanya
menyalahgunakan aset perusahaan, tetapi mereka sering menjerumuskan perusahaan pada
usaha-usaha yang berisiko demi kepentingan pribadi (www.enron.com).
Menilai
Perilaku Etis
Apa yang membedakan perilaku etis dari perilaku tidak
etis kadang kala bersifat subjektif dan mengundang perbedaan pendapat. Jadi
bagaimana seseorang dapat memutuskan apakah suatu tindakan atas keputusan itu
etis ? Ada tiga langkah yang disederhanakan untuk menerapkan penilaian etis
terhadap situasi yang dapat timbul selama kita melakukan aktivitas bisnis yaitu
:
- Mengumpulkan informasi faktual yang relevan
- Menganalisis fakta-fakta untuk menentukan nilai moral yang paling tepat
- Melakukan penilaian etis berdasarkan kebenaran atau kesalahan terhadap aktivitas atau kebijakan yang akan kita nilai tersebut.
Sayang, prosesnya tidak selalu mulus. Bagaimana bila
fakta-faktanya tidak jelas ? Bagaimana bila tidak ada nilai moral yang telah
disetujui bersama ? Apapun yang terjadi, penilaian dan keputusan tetap harus
dibuat. Para ahli mengemukakan bahwa jika tidak, rasa percaya akan hilang; dan
rasa percaya sangat diperlukan dalam transaksi bisnis apapun.
Agar dapat menilai suatu etika perilaku secara lebih
mendalam, kita membutuhkan perspektif yang lebih kompleks. Untuk
mengilustrasikan perspekitf itu, mari kita tinjau dilema yang umum dihadapi
para manajer mengenai laporan pengeluaran mereka. Perusahaan secara rutin
menyediakan dana untuk pengeluaran yang berkaitan dengan kerja – biaya hotel,
makan, sewa mobil, atau taksi – apabila mereka melakukan perjalanan bisnis atau
menjamu klien untuk tujuan bisnis. Para karyawan diharapkan mengklaim hanya
untuk pengeluaran yang akurat dan berkaitan dengan pekerjaannya.
Menurut Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert ( 2007),
norma-norma etis juga
muncul dalam kasus
seperti itu. Perhatikanlah 4 norma dan persoalan yang ditimbulkannya :
- Kegunaan (utility): Apakah suatu tindakan mengoptimalkan keuntungan mereka yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut ?
- Hak (rights): Apakah tindakan itu menghargai hak-hak orang yang terlibat ?
- Keadilan (justice) : Apakah tindakan itu konsisten dengan apa yang kita anggap adil ?
- Kepedulian (caring): Apakah tindakan itu konsisten dengan tanggung jawab masing-masing pihak kepada pihak lainnya ?
Sekarang kembalilah ke kasus laporan biaya yang
melambung. Sementara norma kegunaan (utility) mengetahui bahwa manajer
mendapat manfaat dari penggelembungan laporan biaya, sedangkan pihak lainnya,
seperti teman sekerja dan pemilik perusahaan, tidak mendapatkan manfaat
apa-apa. Demikian pula, sebagian besar ahli akan setuju bahwa tindakan tersebut
tidak menghargai hak orang lain. Selain itu, hal tersebut jelas-jelas tidak adil
dan bertentangan dengan tanggung jawab manajer tersebut kepada pihak lain.
Jadi, tindakan itu jelas-jelas tidak etis.
Menerapkan
Kode Etik Tertulis
Banyak perusahaan menuliskan kode etik tertulis yang
secara formal menyatakan keinginan mereka melakukan bisnis dengan perilaku yang
etis. Jumlah perusahaan seperti itu meningkat secara pesat dalam kurun waktu
tiga dasawarsa terakhir ini, dan kini hamper semua korporasi besar telah
memiliki kode etik tertulis. Bahkan Enron memiliki kode etik, tetapi para
manajer tentu harus menjalankan kode etik itu jika penerapan kode etik itu berhasil.
Pernah terjadi, dewan direktur Enron melakukan pengambilan suara untuk mengesampingkan
suatu kode etik supaya bisa menyelesaikan satu transaksi yang akan melanggar
kode itu; setelah transaksi selesai, mereka melakukan pengambilan suara untuk kembali
memberlakukan kode etik tersebut!
Hewlett Packard, misalnya, memiliki
kode etik tertulis yang mereka sebut The HP Way, sejak 1957 (www.hp.com). Unsur-unsur
pentingnya adalah sebagai berikut:
- Kami mempercayai dan menghargai individu
- Kami fokus pada tingkat pencapaian prestasi dan kotribusi yang tinggi
- Kami menjalankan bisnis kami dengan integritas tanpa kompromi
- Kami meraih tujuan umum kami melalui kerja kelompok
- Kami mendorong fleksibilitas dan inovasi
Tanggung
Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility)
Etika mempengaruhi perilaku pribadi di lingkungan kerja.
Tanggung jawab social adalah sebuah konsep yang berhubungan, namun merujuk pada
seluruh cara bisnis berupaya menyeimbangkan komitmennya terhadap kelompok dan
pribadi dalam lingkungan sosialnya. Kelompok dan individu itu sering kali
disebut sebagai pihak yang berkepentingan dalam organisasi. Mereka adalah
kelompok, orang, dan organisasi yang dipengaruhi langsung oleh praktek-praktek
suatu organisasi dan, dengan demikian, berpentingan terhadap kinerja organisasi
itu. Pihak-pihak utama yang berpentingan dalam Korporasi yaitu: Karyawan, Investor,
Komunikasi Lokal, Pelanggan, Pemasok (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).
Sumber
Budhi W,
Setia. 2011. “ Menjalankan Bisnis Secara Etis dan Bertanggung Jawab ”. Jurnal FE
Univ. Muhammadiyah Semarang, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011. Dikutip dalam http://jurnal.unimus.ac.id/
1 komentar:
Bagus artijel ini. Sangat membantu tugas mahasiswa yg sulit translate text book. Tks👍👍👍👍👍
Posting Komentar