Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 13 Desember 2013

Tulisan Etika Profesi Akuntansi ke 12


Kegagalan Model Pembangunan
Di Indonesia


Pembangunan yang Gagal
Benarkah pembangunan yang dilaksanakan selama ini mengalami kegagalan? Bukankah pemerintah pernah menyatakan pembangunan berhasil membawa Indonesia pada posisi sejajar dengan negara-negara maju dengan menjadi anggota G20? Keberhasilan tersebut ditopang oleh keberhasilan Indonesia menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga melesatkan nilai produk domestik bruto dan tingkat pendapatan perkapita.

Di tengah klaim keberhasilan tersebut, tidak sedikit yang bersikap kritis dan justru berkata sebaliknya; “gagal”. Sofian Effendi dari Forum Rektor menyatakan: “Negara kita sudah dekat menjadi negara gagal dan kalau tidak diperbaiki pemerintah, pada tahun akan datang menjadi negara gagal.”

Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian mengatakan: “Setelah enam tahun di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang ada sejumlah prestasi. Tapi, di bidang yang teramat penting, menyangkut kesejahteraan rakyat. Pemerintah ini telah gagal. Untuk menutupi kegagalan ini maka banyak terjadi kebohongan-kebohongan.”

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan: “Mereka bilang Indonesia bakal menjadi negara gagal. Indikatornya antara lain kalau terjadi kleptokrasi (semua cabang kekuasaan terjadi korupsi), ada pertarungan  horizontal, kepercayaan daerah kepada pusat kurang, dan kepercayaan  rakyat kepada pemimpin mulai hilang.”

Banyak cara untuk melihat apakah pembangunan di Indonesia gagal atau tidak. Salah satunya adalah masalah kesejahteraan. Jika pemerintah menyatakan berhasil meningkatkan kesejahteraan umat dengan naiknya pendapatan perkapita, maka dari sisi realitas justru umat ditimpa berbagai kesulitan hidup dan kemiskinan tidak dapat dientaskan. Jika pemerintah menyatakan berhasil menurunkan rasio hutang terhadap PDB, maka dari sisi realitas justru beban cicilan hutang semakin bertambah sedangkan jumlah hutang tidak pernah berkurang.

Dengan demikian tidak sulit untuk melihat dan menemukan kegagalan pembangunan. Hal yang penting untuk didiskusikan adalah apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kegagalan pembangunan? Apa yang membuat negeri kita yang telah memiliki kesempatan sejak diraihnya kemerdekaan tidak mampu menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyejahterakan umat?


Kesalahan Model Pembangunan
Kegagalan pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil bagi umat tentu tidak lepas dari kesalahan model pembangunan yang diadopsi. Kami mencatat tiga masalah utama model pembangunan yang menjadi faktor kunci kegagalan :

Pembangunan yang menciptakan ketergantungan
Ketergantungan pembangunan pada faktor luar negeri menyebabkan definisi, tujuan, undang-undang, dan pilihan kebijakan dalam pembangunan tidak ditentukan secara mandiri. Padahal kemandirian saja tidak cukup dalam pembangunan tetapi harus disertai dengan konsep dan sistem yang benar, apalagi bila kemandirian tidak dimiliki.

Ketergantungan berarti menempatkan faktor luar negeri yang menjadi perancang sebenarnya pembangunan. Model kertegantungan pembangunan ini merupakan sebuah evolusi penjajahan Barat sebagaimana yang ditulis oleh Menlu AS (1953-59) John Foster Dulles dalam bukunya War or Peace.Menurut Dulles, Barat harus memberikan kemerdekaan pada 700 juta penduduk yang hidup dalam kolonialismenya jika ingin mempertahankan dominasinya. Tentu saja kemerdekaan tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan disertai dengan syarat yang tetap mendudukkan wilayah tersebut dalam cengkramannya.

Aburrahman al-Maliki menjelaskan paska Perang Dunia II Barat menciptakan taktik baru penjajahan (neo-imperialisme) dengan cara mengikat negara-negara yang diberi kemerdekaan dengan hutang dan bantuan pembangunan.Taqiyuddin an-Nabhani dalam Konsepsi Politik Hizbut Tahrir menerangkan bahwasanya penjajahan tidak hanya berwujud pendudukan dengan jalan militer tetapi juga mencakup skala yang lebih luas. Menurut an-Nabhani, penjajahan merupakan pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi.

Terkait evolusi penjajahan Barat dengan taktik baru bernama pembangunan dan bantuan hutang, maka negeri kita tidak lepas dari perhatian negara penjajah khususnya Amerika Serikat. Ketergantungan pembangunan Indonesia  terhadap konsep, hutang, investasi, dan suvervisi asing merupakan sebuah rekayasa negara imperialis.

Kelahiran rezim Orde Baru tidak lepas dari strategi AS untuk memblok pengaruh Uni Sovyet di Asia Tenggara dan menguras sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green dalam laporannya kepada Presiden Lyndon Johnson pada 12 Oktober 1967 menyebutkan Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam; minyak, mineral, kayu, perikanan, yang harus dibantu oleh AS khususnya untuk menolong pemerintahan Orde Baru membangun stabilitas. AS berkepentingan untuk perekonomian Indonesia ke arah ekonomi pasar.

Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns (2010) menceritakan kepergian Menlu Adam Malik pada akhir September 1966 untuk meminta bantuan AS. Tidak lama kemudian, Menko Perekonomian Sultan Hamengkubuwana IX menyusul untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Misi Adam Malik pada waktu itu adalah bertemu dengan petinggi CIA, Depertemen Pertahanan, DPR dan Senat AS, serta Presiden Lyndon Johnson. Menurut Simpson, pemerintah Johnson memandang Adam Malik sebagai petinggi Orde Baru yang harus dipertahankan tapi memiliki basis sosial-politik yang lemah di Indonesia. Untuk itu kepulangan Adam Malik harus disertai keberhasilannya membawa bantuan AS kepada Indonesia.

Di samping memasukkan Indonesia ke dalam perangkap hutang AS, juga ditempuh jalan masuknya korporasi AS untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Simpsons menyebutkan AS memiliki pengaruh sangat besar dalam merancang undang-undang penanaman modal asing. Undang-undang tersebut disusun Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro di bawah arahan AS dengan acuan “liberalisasi maksimum”. Pada waktu itu, undang-undang inilah yang menjadi jalan masuknya Freeport ke Indonesia untuk mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua.

Pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan
Sudah menjadi persepsi umum bahwa pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi mendorong tercapainya pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ini merupakan dasar politik pembangunan ekonomi Indonesia.

Model politik pertumbuhan menempatkan persepsi kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat dicapai manakala perekonomian didorong untuk menghasilkan output kegiatan ekonomi yang tumbuh lebih besar setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut digambarkan oleh pertambahan nilai produk domestik bruto (PDB). Dengan perekonomian yang tumbuh, maka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi dan dituntaskan, begitulah logikanya.

Model ini memiliki kekeliruan yang mendasar. Menurut an-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, politik pertumbuhan menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan manusia secara kolektif bukan pemenuhan kebutuhan setiap individu. Praktisnya politik pertumbuhan fokus pada aspek materi yakni output yang dapat dihasilkan perekonomian. Sebaliknya, politik pertumbuhan tidak fokus pada manusia sebagai mahluk yang harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain politik pertumbuhan hanya mementingkan benda yang dihasilkan bukan manusianya.

Dari politik pertumbuhan inilah kemudian diciptakan pendapatan perkapita[10] sebagai ukuran umum tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara teknis, pertumbuhan ekonomi terjadi karena peningkatan nilai PDB setiap tahunnya yang mendorong kenaikan pendapatan perkapita. Permasalahannya, benarkah pendapatan perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat?

Pada tahun 2011 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp7.427,1 trilyun tumbuh 6,5% dari tahun 2010. Dengan demikian pendapatan perkapita Indonesia naik dari Rp27,1 juta pada tahun 2010 menjadi Rp30,8 juta untuk tahun 2011.[11] Data tersebut menunjukkan pendapatan perkapita Indonesia perbulannya mencapai Rp2,56 juta. Sebuah angka yang cukup fantastis tentunya.

Namun sekali lagi kami tanyakan, benarkah angka pendapatan perkapita tersebut mencerminkan kondisi riil pendapatan rata-rata masyarakat? Yang kita lihat di tengah-tengah masyarakat justru mereka menghadapi kehidupan yang semakin sulit meski pemerintah membanggakan naiknya pendapatan perkapita dan turunnya angka kemiskinan menjadi 12,36% atau 29,89 juta jiwa pada tahun 2011.
Dengan menggunakan data BPS sendiri, kami menemukan perbedaan cukup jauh antara tingkat pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita. Memang secara rasional tidak mesti seluruh pendapatan dihabiskan, sebagian bisa disimpan dan sebagian lagi dapat diinvestasikan. Masalahnya adalah perbedaan yang cukup jauh di antara kedua indikator tersebut sedangkan kesejahteraan belum dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

Data BPS menunjukkan tahun 2011 pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Indonesia mencapai Rp593 ribu.Berarti ada selisih antara pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita sebesar Rp1,97 juta. Dalam formulasi almarhum Profesor Mubyarto,selisih tersebut dapat diindikasikan sebagai penghisapan ekonomi.

Berdasarkan formulasi tersebut, maka derajat penghisapan ekonomi Indonesia untuk tahun 2011 mencapai 76,95%. Artinya dari Rp7.427 trilyun produk domestik bruto yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2011, 76,95% dinikmati oleh asing dan sekelompok kecil pemilik modal. Sisanya hanya 22,05% dari nilai PDB yang dinikmati oleh 240 juta jiwa penduduk Indonesia. Inilah gambaran yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah membanggakan kinerja pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak dirasakan masyarakat. Sebab yang menikmati pertumbuhan ekonomi adalah asing dan pemilik modal

Kerangka berpikir ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene daerah kaya sumber daya alam tetapi tertinggal. Teori ekonomi Barat menyebut permasalahan yang menimpa daerah-daerah tersebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”[15] padahal yang sesungguhnya terjadi adalah “penghisapan ekonomi”. Kami memilih sebutan untuk kondisi di daerah kaya SDA tersebut sebagai akibat “Kutukan Globalisasi dan Liberalisasi”.

Politik pertumbuhan juga terbukti tidak dapat menghilangkan kemiskinan di Indonesia meski telah meraih kemerdekaan selama hampir 67 tahun. Pembangunan yang “digadang-gadang” rezim Orde Baru akan mencapai tahapan tinggal landas dan akan menghapus kemiskinan justru berujung krisis moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut terjadi akibat penumpukan hutang pemerintah dan hutang luar negeri swasta. Sedangkan kinerja pembangunan yang “dibangga-banggakan” pemerintahan berada dalam posisi rentan terhadap krisis dan tidak dapat menghapuskan kemiskinan.

Menurut pemerintah angka kemiskinan terus menurun dari 23,4% pada tahun 1999 dan 16,58% pada tahun 2007 menjadi 12,35% pada tahun 2011. Permasalahannya, turunnya tingkat kemiskinan versi pemerintah tersebut disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang digunakan. Pada tahun 2011 standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243.729,-. Artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata perbulan di bawah Rp243.729,- atau perharinya di bawah Rp8.124,-. Jika pengeluaran rata-rata seseorang setiap harinya naik sebesar dua ratus rupiah dari Rp8.000,- menjadi Rp8.200,-, maka oleh pemerintah, orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai orang miskin. Ini jelas sangat tidak rasional.

Kita tentu masih ingat pada tahun 2005 kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM didukung oleh hasil penelitian LPEM UI yang berjudul “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan”. Sebagaimana dijelaskan penelitinya Mohamad Ikhsan, alasan utama kenaikan harga BBM akan menurunkan angka kemiskinan jika kelompok termiskin mendapatkan kompensasi  yang jumlahnya jauh lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama sebelum kenaikan harga BBM. Menurut hitungan penelitian tersebut, dengan menggunakan kompensasi raskin saja senilai Rp36ribu perbulan (setelah dikurangi harga pembelian) sudah dapat mempertahankan kesejahteraan masyarakat dari dampak kenaikan harga BBM, apalagi ditambah dengan kompensasi BLT sebesar Rp100ribu perbulan perkeluarga.

Dari sisi teknis perhitungan mungkin saja penelitian LPEM UI tersebut benar. Sebab paradigma pengurangan kemiskinannya adalah dengan mengangkat pengeluaran perkapita warga miskin di atas garis kemiskinan tahun 2005 sebesar Rp129.108,- ditambah penyesuaian inflasi yang mungkin terjadi. Makna kompensasi BBM Rp100 ribu per bulan akan mengurangi kemiskinan adalah menakala angka Rp100ribu setelah dibagi jumlah keluarga (misal 4 anggota keluarga) sehingga jika pengeluaran perkapita sebelumnya dalam sebuah keluarga Rp129.000,- (dan ini terkatagori miskin) ditambah kompsensasi peranggota keluarga sebesar Rp25 ribu, maka kompensasi tersebut membuat pengeluarannya menjadi Rp154.000,- perbulan. Dengan asumsi ini, orang yang semula terkatagori miskin pada tahun 2005 menjadi tidak miskin pada tahun 2006. Sebab pengeluarannya sebesar Rp154ribu berada di atas garis kemiskinan tahun 2006, yakni Rp152.847,-.

Model pengentasan kemiskinan dengan jalan seperti di atas jelas sangat tidak realistis. Karena hanya melihat kemiskinan dari segi konfigurasi angka pengeluaran perkapita agar tidak berada di bawah garis kemiskinan. Bukan dari segi setiap warga negara harus dipenuhi kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Rendahnya standar kemiskinan inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia terlihat rendah dan semakin menurun. Jika menggunakan standar internasional $2 perhari, maka tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005 sebesar 53,8% jauh lebih tinggi dari tingkat kemiskinan menurut pemerintah sebesar 15,97%. Bahkan hasil penelitian LPEM UI tahun 2005 tidak terbukti terjadi pengurangan kemiskinan pada tahun 2006. Tahun 2006 justru terjadi kenaikan tingkat kemiskinan sebagai dampak kenaikan harga BBM baik menurut pemerintah sebesar 17,75% maupun dengan standar $2 perhari sebesar 62,35%.

Jelaslah model pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan. Model ini juga tidak mampu menciptakan pemerataan sebab yang terjadi adalah penghisapan dan ketimpangan. Sebagai contoh 42,76% pendapatan penduduk Indonesia pada tahun 2005 hanya dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tertinggi sedangkan 20% penduduk berpendapatan terendah hanya menikmati pendapatan sebanyak 8,34%.

Pembangunan yang berpihak pada pasar
Dalam model pembangunan ini, pusat perhatian negara adalah pasar dan investor bukan umat. Keberpihakan tersebut merupakan konsekwensi dari ketergantungan pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta pandangan pasar dan investor sebagai lokomotif pertumbuhan.

Model pembangunan yang menjadikan pasar dan investor sebagai pusat perhatian negara akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan undang-undang yang bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan yang pro pasar pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber daya alam. Dengan kata lain, pemerintah menerapkan ekonomi neoliberal.

Mengenai hal ini, Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menyebutkan ada lima kerangka kebijakan ekonomi neoliberal, yaitu pasar bebas, pembatasan anggaran belanja publik, deregulasi, privatisasi, dan penghapusan konsep barang publik.

1.       Pasar bebas
Pemerintah melakukan kebijakan yang membuka perekonomian nasional dan meminimalisir rintangan yang menghalangi masuk dan keluarnya suatu produk ke Indonesia. Dampak kebijakan pasar bebas adalah hilangnya proteksi terhadap usaha-usaha ekonomi lokal dari serbuan produk impor. Meski dampak pasar bebas akan merusak usaha-usaha ekonomi lokal, pemerintah memandang pasar bebas sebagai jalan terbaik untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
2.      Pembatasan anggaran belanja public
Pemerintah melakukan pembatasan pengeluaran dan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, listrik dan energi, transportasi dan telekomunikasi, air bersih, infrastruktur dan layanan publik. Tujuan sebenarnya pembatasan belanja publik adalah untuk menjamin kemampuan pemerintah dalam membayar hutang dan menyerahkan sektor publik tersebut ke swasta dan asing sebagai realisasi pasar bebas. Akibatnya harga barang publik dan tarif layanan publik menjadi mahal.
3.      Deregulasi
Melalui kebijakan deregulasi pemerintah menghapus peraturan-peraturan yang menghambat pasar bebas dan investasi asing. Kemudian pemerintah akan menerbitkan payung hukum baru yang akomodatif terhadap pasar dan investasi asing.
4.      Privatisasi
Sebagai realisasi penerapan ekonomi pasar, pemerintah melakukan privatisasi baik terhadap BUMN, aset-aset milik negara, maupun terhadap sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Melalui privatisasi pemerintah akan menyerahkan kepemilikan harta milik negara dan milik umum ke tangan swasta dana asing.
5.      Menghilangkan konsep barang public
Pemerintah akan membangun persepsi pentingnya partisipasi publik dalam kegiatan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Padahal yang dimaksud pemerintah dengan partisipasi publik adalah pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, umat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan mereka akan barang-barang publik

Model pembangunan yang liberal ini semakin mempercepat tingkat penghisapan ekonomi dan memperlebar ketimpangan. Peran ekonomi yang sebelumnya masih berada di tangan negara berpindah ke tangan swasta dan asing. Di sisi lain, umat akan semakin sulit memenuhi kebutuhan primernya karena semakin tinggi harga yang harus mereka bayar kemiskinan riil pun semakin bertambah. Pada kondisi seperti ini, kriminalitas dan keresahan sosial mewarnai kehidupan sehari-hari umat. Sedangkan pejabat negara semakin tidak peduli pada umat, korupsi merajalela, dan terjadinya “perselingkuhan” elit politik dengan pemilik modal.

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar