Kegagalan Model Pembangunan
Di Indonesia
Pembangunan
yang Gagal
Benarkah
pembangunan yang dilaksanakan selama ini mengalami kegagalan? Bukankah
pemerintah pernah menyatakan pembangunan berhasil membawa Indonesia pada posisi
sejajar dengan negara-negara maju dengan menjadi anggota G20? Keberhasilan
tersebut ditopang oleh keberhasilan Indonesia menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi sehingga melesatkan nilai produk domestik bruto dan tingkat
pendapatan perkapita.
Di
tengah klaim keberhasilan tersebut, tidak sedikit yang bersikap kritis dan
justru berkata sebaliknya; “gagal”. Sofian Effendi dari Forum Rektor
menyatakan: “Negara kita sudah dekat menjadi negara gagal dan kalau tidak
diperbaiki pemerintah, pada tahun akan datang menjadi negara gagal.”
Rizal
Ramli, mantan Menko Perekonomian mengatakan: “Setelah enam tahun di bawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang ada sejumlah prestasi.
Tapi, di bidang yang teramat penting, menyangkut kesejahteraan rakyat.
Pemerintah ini telah gagal. Untuk menutupi kegagalan ini maka banyak terjadi
kebohongan-kebohongan.”
Mantan
Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan: “Mereka bilang Indonesia
bakal menjadi negara gagal. Indikatornya antara lain kalau terjadi kleptokrasi
(semua cabang kekuasaan terjadi korupsi), ada pertarungan horizontal,
kepercayaan daerah kepada pusat kurang, dan kepercayaan rakyat kepada
pemimpin mulai hilang.”
Banyak
cara untuk melihat apakah pembangunan di Indonesia gagal atau tidak. Salah
satunya adalah masalah kesejahteraan. Jika pemerintah menyatakan berhasil
meningkatkan kesejahteraan umat dengan naiknya pendapatan perkapita, maka dari
sisi realitas justru umat ditimpa berbagai kesulitan hidup dan kemiskinan tidak
dapat dientaskan. Jika pemerintah menyatakan berhasil menurunkan rasio hutang
terhadap PDB, maka dari sisi realitas justru beban cicilan hutang semakin
bertambah sedangkan jumlah hutang tidak pernah berkurang.
Dengan
demikian tidak sulit untuk melihat dan menemukan kegagalan pembangunan. Hal
yang penting untuk didiskusikan adalah apa yang sesungguhnya menjadi penyebab
kegagalan pembangunan? Apa yang membuat negeri kita yang telah memiliki
kesempatan sejak diraihnya kemerdekaan tidak mampu menggunakan sumber daya
manusia dan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyejahterakan umat?
Kesalahan Model Pembangunan
Kegagalan
pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil bagi umat tentu
tidak lepas dari kesalahan model pembangunan yang diadopsi. Kami mencatat tiga
masalah utama model pembangunan yang menjadi faktor kunci kegagalan :
Pembangunan yang menciptakan ketergantungan
Ketergantungan
pembangunan pada faktor luar negeri menyebabkan definisi, tujuan,
undang-undang, dan pilihan kebijakan dalam pembangunan tidak ditentukan secara
mandiri. Padahal kemandirian saja tidak cukup dalam pembangunan tetapi harus
disertai dengan konsep dan sistem yang benar, apalagi bila kemandirian tidak
dimiliki.
Ketergantungan
berarti menempatkan faktor luar negeri yang menjadi perancang sebenarnya
pembangunan. Model kertegantungan pembangunan ini merupakan sebuah evolusi penjajahan
Barat sebagaimana yang ditulis oleh Menlu AS (1953-59) John Foster Dulles dalam
bukunya War or Peace.Menurut Dulles, Barat harus memberikan kemerdekaan pada
700 juta penduduk yang hidup dalam kolonialismenya jika ingin mempertahankan
dominasinya. Tentu saja kemerdekaan tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan
disertai dengan syarat yang tetap mendudukkan wilayah tersebut dalam
cengkramannya.
Aburrahman
al-Maliki menjelaskan paska Perang Dunia II Barat menciptakan taktik baru
penjajahan (neo-imperialisme) dengan cara mengikat negara-negara yang diberi
kemerdekaan dengan hutang dan bantuan pembangunan.Taqiyuddin an-Nabhani dalam Konsepsi
Politik Hizbut Tahrir menerangkan bahwasanya penjajahan tidak hanya berwujud
pendudukan dengan jalan militer tetapi juga mencakup skala yang lebih luas.
Menurut an-Nabhani, penjajahan merupakan pemaksaan dominasi politik, militer,
budaya dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi.
Terkait
evolusi penjajahan Barat dengan taktik baru bernama pembangunan dan bantuan
hutang, maka negeri kita tidak lepas dari perhatian negara penjajah khususnya
Amerika Serikat. Ketergantungan pembangunan Indonesia terhadap konsep,
hutang, investasi, dan suvervisi asing merupakan sebuah rekayasa negara imperialis.
Kelahiran
rezim Orde Baru tidak lepas dari strategi AS untuk memblok pengaruh Uni Sovyet
di Asia Tenggara dan menguras sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Duta
Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green dalam laporannya kepada Presiden
Lyndon Johnson pada 12 Oktober 1967 menyebutkan Indonesia sebagai negara yang
kaya sumber daya alam; minyak, mineral, kayu, perikanan, yang harus dibantu
oleh AS khususnya untuk menolong pemerintahan Orde Baru membangun stabilitas.
AS berkepentingan untuk perekonomian Indonesia ke arah ekonomi pasar.
Bradley
R. Simpson dalam Economists with Guns (2010) menceritakan kepergian Menlu Adam
Malik pada akhir September 1966 untuk meminta bantuan AS. Tidak lama kemudian,
Menko Perekonomian Sultan Hamengkubuwana IX menyusul untuk menghadiri pertemuan
tahunan IMF dan Bank Dunia. Misi Adam Malik pada waktu itu adalah bertemu
dengan petinggi CIA, Depertemen Pertahanan, DPR dan Senat AS, serta Presiden
Lyndon Johnson. Menurut Simpson, pemerintah Johnson memandang Adam Malik sebagai
petinggi Orde Baru yang harus dipertahankan tapi memiliki basis sosial-politik
yang lemah di Indonesia. Untuk itu kepulangan Adam Malik harus disertai
keberhasilannya membawa bantuan AS kepada Indonesia.
Di
samping memasukkan Indonesia ke dalam perangkap hutang AS, juga ditempuh jalan
masuknya korporasi AS untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Simpsons
menyebutkan AS memiliki pengaruh sangat besar dalam merancang undang-undang
penanaman modal asing. Undang-undang tersebut disusun Kepala Bappenas Widjojo
Nitisastro di bawah arahan AS dengan acuan “liberalisasi maksimum”. Pada waktu
itu, undang-undang inilah yang menjadi jalan masuknya Freeport ke Indonesia
untuk mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua.
Pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan
Sudah menjadi persepsi umum bahwa pembangunan
ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi mendorong
tercapainya pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi ini merupakan dasar politik pembangunan ekonomi Indonesia.
Model politik pertumbuhan menempatkan
persepsi kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat dicapai manakala perekonomian
didorong untuk menghasilkan output kegiatan ekonomi yang tumbuh lebih besar
setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut digambarkan oleh pertambahan nilai produk
domestik bruto (PDB). Dengan perekonomian yang tumbuh, maka pengangguran dan
kemiskinan dapat dikurangi dan dituntaskan, begitulah logikanya.
Model ini memiliki kekeliruan yang mendasar.
Menurut an-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, politik pertumbuhan
menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan manusia secara kolektif bukan
pemenuhan kebutuhan setiap individu. Praktisnya politik pertumbuhan fokus pada
aspek materi yakni output yang dapat dihasilkan perekonomian. Sebaliknya,
politik pertumbuhan tidak fokus pada manusia sebagai mahluk yang harus dijamin
pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain politik pertumbuhan hanya
mementingkan benda yang dihasilkan bukan manusianya.
Dari politik pertumbuhan inilah kemudian
diciptakan pendapatan perkapita[10] sebagai ukuran umum tingkat kesejahteraan
masyarakat. Secara teknis, pertumbuhan ekonomi terjadi karena peningkatan nilai
PDB setiap tahunnya yang mendorong kenaikan pendapatan perkapita.
Permasalahannya, benarkah pendapatan perkapita mencerminkan tingkat
kesejahteraan masyarakat?
Pada tahun 2011 produk domestik bruto
Indonesia mencapai Rp7.427,1 trilyun tumbuh 6,5% dari tahun 2010. Dengan
demikian pendapatan perkapita Indonesia naik dari Rp27,1 juta pada tahun 2010
menjadi Rp30,8 juta untuk tahun 2011.[11] Data tersebut menunjukkan pendapatan
perkapita Indonesia perbulannya mencapai Rp2,56 juta. Sebuah angka yang cukup
fantastis tentunya.
Namun sekali lagi kami tanyakan, benarkah
angka pendapatan perkapita tersebut mencerminkan kondisi riil pendapatan
rata-rata masyarakat? Yang kita lihat di tengah-tengah masyarakat justru mereka
menghadapi kehidupan yang semakin sulit meski pemerintah membanggakan naiknya
pendapatan perkapita dan turunnya angka kemiskinan menjadi 12,36% atau 29,89
juta jiwa pada tahun 2011.
Dengan menggunakan data BPS sendiri, kami
menemukan perbedaan cukup jauh antara tingkat pendapatan perkapita dengan
pengeluaran rata-rata perkapita. Memang secara rasional tidak mesti seluruh
pendapatan dihabiskan, sebagian bisa disimpan dan sebagian lagi dapat
diinvestasikan. Masalahnya adalah perbedaan yang cukup jauh di antara kedua
indikator tersebut sedangkan kesejahteraan belum dapat dirasakan oleh sebagian besar
penduduk Indonesia.
Data BPS menunjukkan tahun 2011 pengeluaran
rata-rata perkapita penduduk Indonesia mencapai Rp593 ribu.Berarti ada selisih
antara pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita sebesar
Rp1,97 juta. Dalam formulasi almarhum Profesor Mubyarto,selisih tersebut dapat
diindikasikan sebagai penghisapan ekonomi.
Berdasarkan formulasi tersebut, maka derajat
penghisapan ekonomi Indonesia untuk tahun 2011 mencapai 76,95%. Artinya dari
Rp7.427 trilyun produk domestik bruto yang dihasilkan Indonesia pada tahun
2011, 76,95% dinikmati oleh asing dan sekelompok kecil pemilik modal. Sisanya
hanya 22,05% dari nilai PDB yang dinikmati oleh 240 juta jiwa penduduk
Indonesia. Inilah gambaran yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah
membanggakan kinerja pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tetapi tidak dirasakan masyarakat. Sebab yang menikmati pertumbuhan
ekonomi adalah asing dan pemilik modal
Kerangka berpikir ini juga dapat digunakan
untuk menjelaskan mengapa Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene
daerah kaya sumber daya alam tetapi tertinggal. Teori ekonomi Barat menyebut
permasalahan yang menimpa daerah-daerah tersebut sebagai “Kutukan Sumber Daya
Alam”[15] padahal yang sesungguhnya terjadi adalah “penghisapan ekonomi”. Kami
memilih sebutan untuk kondisi di daerah kaya SDA tersebut sebagai akibat
“Kutukan Globalisasi dan Liberalisasi”.
Politik pertumbuhan juga terbukti tidak dapat
menghilangkan kemiskinan di Indonesia meski telah meraih kemerdekaan selama
hampir 67 tahun. Pembangunan yang “digadang-gadang” rezim Orde Baru akan
mencapai tahapan tinggal landas dan akan menghapus kemiskinan justru berujung
krisis moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut terjadi akibat penumpukan
hutang pemerintah dan hutang luar negeri swasta. Sedangkan kinerja pembangunan
yang “dibangga-banggakan” pemerintahan berada dalam posisi rentan terhadap
krisis dan tidak dapat menghapuskan kemiskinan.
Menurut pemerintah angka kemiskinan terus
menurun dari 23,4% pada tahun 1999 dan 16,58% pada tahun 2007 menjadi 12,35%
pada tahun 2011. Permasalahannya, turunnya tingkat kemiskinan versi pemerintah
tersebut disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang digunakan.
Pada tahun 2011 standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243.729,-. Artinya
penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata
perbulan di bawah Rp243.729,- atau perharinya di bawah Rp8.124,-. Jika
pengeluaran rata-rata seseorang setiap harinya naik sebesar dua ratus rupiah
dari Rp8.000,- menjadi Rp8.200,-, maka oleh pemerintah, orang tersebut tidak
dikatagorikan sebagai orang miskin. Ini jelas sangat tidak rasional.
Kita tentu masih ingat pada tahun 2005
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM didukung oleh hasil penelitian LPEM UI
yang berjudul “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan”.
Sebagaimana dijelaskan penelitinya Mohamad Ikhsan, alasan utama kenaikan harga
BBM akan menurunkan angka kemiskinan jika kelompok termiskin mendapatkan
kompensasi yang jumlahnya jauh lebih besar dari kebutuhan untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama sebelum kenaikan harga BBM.
Menurut hitungan penelitian tersebut, dengan menggunakan kompensasi raskin saja
senilai Rp36ribu perbulan (setelah dikurangi harga pembelian) sudah dapat
mempertahankan kesejahteraan masyarakat dari dampak kenaikan harga BBM, apalagi
ditambah dengan kompensasi BLT sebesar Rp100ribu perbulan perkeluarga.
Dari sisi teknis perhitungan mungkin saja
penelitian LPEM UI tersebut benar. Sebab paradigma pengurangan kemiskinannya
adalah dengan mengangkat pengeluaran perkapita warga miskin di atas garis
kemiskinan tahun 2005 sebesar Rp129.108,- ditambah penyesuaian inflasi yang
mungkin terjadi. Makna kompensasi BBM Rp100 ribu per bulan akan mengurangi
kemiskinan adalah menakala angka Rp100ribu setelah dibagi jumlah keluarga
(misal 4 anggota keluarga) sehingga jika pengeluaran perkapita sebelumnya dalam
sebuah keluarga Rp129.000,- (dan ini terkatagori miskin) ditambah kompsensasi
peranggota keluarga sebesar Rp25 ribu, maka kompensasi tersebut membuat
pengeluarannya menjadi Rp154.000,- perbulan. Dengan asumsi ini, orang yang
semula terkatagori miskin pada tahun 2005 menjadi tidak miskin pada tahun 2006.
Sebab pengeluarannya sebesar Rp154ribu berada di atas garis kemiskinan tahun
2006, yakni Rp152.847,-.
Model pengentasan kemiskinan dengan jalan
seperti di atas jelas sangat tidak realistis. Karena hanya melihat kemiskinan
dari segi konfigurasi angka pengeluaran perkapita agar tidak berada di bawah
garis kemiskinan. Bukan dari segi setiap warga negara harus dipenuhi kebutuhan
primernya, seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan
keamanan.
Rendahnya standar kemiskinan inilah yang
menyebabkan kemiskinan di Indonesia terlihat rendah dan semakin menurun. Jika
menggunakan standar internasional $2 perhari, maka tingkat kemiskinan di
Indonesia tahun 2005 sebesar 53,8% jauh lebih tinggi dari tingkat kemiskinan
menurut pemerintah sebesar 15,97%. Bahkan hasil penelitian LPEM UI tahun 2005
tidak terbukti terjadi pengurangan kemiskinan pada tahun 2006. Tahun 2006
justru terjadi kenaikan tingkat kemiskinan sebagai dampak kenaikan harga BBM
baik menurut pemerintah sebesar 17,75% maupun dengan standar $2 perhari sebesar
62,35%.
Jelaslah model pembangunan yang bertumpu pada
politik pertumbuhan tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan. Model ini juga
tidak mampu menciptakan pemerataan sebab yang terjadi adalah penghisapan dan
ketimpangan. Sebagai contoh 42,76% pendapatan penduduk Indonesia pada tahun
2005 hanya dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tertinggi sedangkan 20%
penduduk berpendapatan terendah hanya menikmati pendapatan sebanyak 8,34%.
Pembangunan yang berpihak pada pasar
Dalam
model pembangunan ini, pusat perhatian negara adalah pasar dan investor bukan
umat. Keberpihakan tersebut merupakan konsekwensi dari ketergantungan
pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta pandangan pasar dan investor
sebagai lokomotif pertumbuhan.
Model
pembangunan yang menjadikan pasar dan investor sebagai pusat perhatian negara
akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan undang-undang yang
bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan yang pro pasar pemerintah
melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber daya alam. Dengan kata
lain, pemerintah menerapkan ekonomi neoliberal.
Mengenai
hal ini, Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menyebutkan ada lima kerangka
kebijakan ekonomi neoliberal, yaitu pasar bebas, pembatasan anggaran belanja
publik, deregulasi, privatisasi, dan penghapusan konsep barang publik.
1. Pasar bebas
Pemerintah melakukan kebijakan yang membuka
perekonomian nasional dan meminimalisir rintangan yang menghalangi masuk dan
keluarnya suatu produk ke Indonesia. Dampak kebijakan pasar bebas adalah
hilangnya proteksi terhadap usaha-usaha ekonomi lokal dari serbuan produk
impor. Meski dampak pasar bebas akan merusak usaha-usaha ekonomi lokal,
pemerintah memandang pasar bebas sebagai jalan terbaik untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
2. Pembatasan anggaran
belanja public
Pemerintah melakukan pembatasan pengeluaran dan
subsidi untuk pendidikan, kesehatan, listrik dan energi, transportasi dan
telekomunikasi, air bersih, infrastruktur dan layanan publik. Tujuan sebenarnya
pembatasan belanja publik adalah untuk menjamin kemampuan pemerintah dalam
membayar hutang dan menyerahkan sektor publik tersebut ke swasta dan asing
sebagai realisasi pasar bebas. Akibatnya harga barang publik dan tarif layanan
publik menjadi mahal.
3. Deregulasi
Melalui kebijakan deregulasi pemerintah
menghapus peraturan-peraturan yang menghambat pasar bebas dan investasi asing.
Kemudian pemerintah akan menerbitkan payung hukum baru yang akomodatif terhadap
pasar dan investasi asing.
4. Privatisasi
Sebagai realisasi penerapan ekonomi pasar,
pemerintah melakukan privatisasi baik terhadap BUMN, aset-aset milik negara,
maupun terhadap sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Melalui privatisasi
pemerintah akan menyerahkan kepemilikan harta milik negara dan milik umum ke
tangan swasta dana asing.
5. Menghilangkan konsep
barang public
Pemerintah akan membangun persepsi pentingnya
partisipasi publik dalam kegiatan yang semestinya menjadi tanggung jawab
negara. Padahal yang dimaksud pemerintah dengan partisipasi publik adalah
pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari negara
menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, umat harus menemukan sendiri
solusi dalam pemenuhan kebutuhan mereka akan barang-barang publik
Model pembangunan yang liberal ini semakin
mempercepat tingkat penghisapan ekonomi dan memperlebar ketimpangan. Peran
ekonomi yang sebelumnya masih berada di tangan negara berpindah ke tangan
swasta dan asing. Di sisi lain, umat akan semakin sulit memenuhi kebutuhan primernya
karena semakin tinggi harga yang harus mereka bayar kemiskinan riil pun semakin
bertambah. Pada kondisi seperti ini, kriminalitas dan keresahan sosial mewarnai
kehidupan sehari-hari umat. Sedangkan pejabat negara semakin tidak peduli pada
umat, korupsi merajalela, dan terjadinya “perselingkuhan” elit politik dengan
pemilik modal.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar