UPAYA
MEMBERANTAS PENCUCIAN UANG
(MONEY
LAUNDERING)
PENGERTIAN DAN MEKANISME KEGIATAN PENCUCIAN UANG
Istilah
money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat
itu tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi tindak pidana “mafia” melalui
pembelian perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian
digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat “pencucian uang” yang
dihasilkan dari bisnis illegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan
minum keras.
Dalam
Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sbb :
“Term
used to describe investment or other transfer of money flowing from
racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate
channels so that its original source cannot be traced”
Secara
umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan
menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana,
tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas,
maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset
(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau disembunyikan asal-usulnya sehingga
dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan
yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal
dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah
berasal dari sumber yang sah/legal.
Kegiatan
pencucian uang melibatkan aktivitsa yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan
tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi
seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering dan integration .
Placement
diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui
penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara
uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam
sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui rela estate atau
saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer
uang ke dalam valuta asing.
Layering
diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan
yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini
terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin
rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia
bank.
Adapun
integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ‘legitimate
explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di’cuci’ melalui placement maupun
layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan
sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang
yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah di-laundry dimasukan kembali ke
dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
PERANAN BANK DALAM MENCEGAH KEGIATAN PENCUCIAN UANG
Berdasarkan
report on Correspondent Banking “A Gateway to Money Laundering” yang dikeluarkan
oleh US Senate Permanent Sub-Committee on Investigation perbankan AS dibatasi
dalam pembukaan hubungan koresponden dengan shell banks; mengakhiri hubungan koresponden
dengan high risk foreign banks khususnya shell banks; mengidentifikasi offshore
banks dan bank-bank di negara lain yang memiliki pengawasan yang lemah, control
anti money laundering yang lemah dan kerahasiaan bank yang ketat. Rekomendasi
ini tentunya dapat mempengaruhi bank-bank di Indonesia yang melakukan hubungan
korespondensi dengan bank di AS.
Berkenaan
dengan hal tersebut sangat penting bagi perbankan di Indonesia untuk melakukan
pencegahan kegiatan pencucian uang. Kegiatan kriminal khususnya tindak pidana money
laundering dapat dikatakan sebagai ancaman eksternal terhadap bank. Dalam hal
ini, cara terbaik bagi bank untuk melindungi diri dari ancaman tersebut adalah
berupaya memahami dan mengenal sebaik mungkin setiap nasabahnya berikut
kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh nasabah dimaksud yang
berhubungan dengan aktivitas rekeningnya. Cara ini akan menjadi perisai utama
bagi bank untuk mencegah agar bank jangan sampai dimanfaatkan oleh para pelaku
kejahatan yang berkedok sebagai nasabah untuk menjalankan kegiatan pencucian
uang. Konsep inilah yang menjadi dasar dari Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer).
Prinsip
KYC yang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan
risiko perbankan yang terkait dengan penilaian masyarakat, nasabah atau mitra transaksi
bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko reputasi, risiko
operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi.
Risiko
reputasi berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian masyarakat
terhadap praktek-praktek yang dijalankan oleh suatu bank yang dapat mengakibatkan
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas bank yang bersangkutan.
Bank sangat rentan terhadap risiko reputasi karena ia merupakan target atau sarana
utama bagi aktivitas kejahatan yang dapat dilakukan oleh nasabah.
Risiko
operasional merupakan risiko kerugian yang secara langsung atau tidak langsung bersumber
dari internal atau eksternal bank. Dalam konteks KYC, risiko ini berhubungan dengan
penerapan operasional perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang
memadai.
Risiko
hukum berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi karena
tidak mematuhi standar KYC dan gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan
terhadap nasabah. Dalam hal ini bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya
oleh otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana
oleh pihak yang berwajib.Penyelesaian masalah melalui pengadilan dapat
menimbulkan implikasi biaya yang sangat besar bagi bank sehingga mempengaruhi
bisnis perbankan yang bersangkutan.
Risiko
konsentrasi terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank. Sebagaimana diketahui, dalam
praktek pengawasan, pengawas bank tidak hanya berkepentingan dengan sistem informasi
untuk mengidentifikasi konsentrasi kredit yang dijalankan oleh bank, tetapi
juga
penerapan
prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit terhadap seorang atau group
kreditur. Tanpa mengenal identitas nasabah secara pasti dan memahami hubungan antara
nasabah yang satu dan nasabah-nasabah lainnya, sulit bagi bank untuk mengatasi
risiko konsentrasi dimaksud. Sementara itu di sisi pasiva, risiko konsentrasi
berhubungan dengan risiko dana khususnya dalam hal terjadi penarikan secara
tiba-tiba dalam jumlah besar oleh nasabah yang berakibat pada likuiditas bank
yang bersangkutan. Untuk ini bank perlu melakukan analisa terhadap adanya
konsentrasi simpanan, memahami karakteristik simpanan termasuk identitas
deposan dan hal-hal apa saja yang dapat menghubungkan deposan tersebut dengan
simpanan deposan lainnya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC terutama adalah untuk melindungi
reputasi bank. Prinsip KYC juga dapat memfasilitasi kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan
perbankan yang berlaku sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian dalam praktek
perbankan yang sehat. Dalam hal ini pada saat bank menarik nasabahnya agar menggunakan
jasa bank yang bersangkutan, diharapkan setiap transaksi yang dijalankan oleh nasabah
melalui bank tersebut sejalan dengan praktek perbankan yang sehat dan tidak bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya Prinsip KYC dapat melindungi bank agar
tidak dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang illegal
atau bank tidak dijadikan sasaran dari kejahatan. Dalam hal ini, dengan
diterapkannya prinsip KYC, diharapkan bank dapat melakukan identifikasi secara
dini terhadap nasabah dan setiap aktivitas/transaksi yang dijalankan oleh
nasabah. Dengan demikian, sejak awal terjadinya hubungan antara bank dan
nasabahnya, bank tidak hanya mengetahui hal-hal apa saja yang akan dilakukan
oleh nasabahnya tetapi juga dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi melalui
perbankan yang bersifat ilega
PERANAN PEMERINTAH INDONESIA DAN BANK INDONESIA DALAM MENANGGULANGI
KEGIATAN PENCUCIAN UANG
Peranan Pemerintah RI
Pencegahan
dari pemberantasan kegiatan money laundering dapat dilakukan melalui pendekatan
pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan
administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian
uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against
Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian
diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan
konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan
kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-langkah
agar pihak yang berwajib dapat mengindentifikasikan, melacak dan membekukan
atau menyita hasil perdagangan obat bius. Secara umum ada beberapa alasan
mengapa money laundering diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana.
Pertama,
money laundering karena pengaruhnya pada system keuangan dan ekonomi diyakini
berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negative terhadap
efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber
daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat
merugikan masyarakat, di samping itu dana-dana banyak yang kurang dimanfaatkan
secara optimal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan
pada negara-negara yang dirasakan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya
lebih rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara
yang perekonomiannya baik ke negara yang perekonomiannya kurang baik.Karena
pengaruh negatifnya pada pasar finansial dan dampaknya dapat mengurangi kepercayaan
publik terhadap sistem keuangan internasional, money laundering dapat mengakibatkan
ketidakstabilan pada perekonomian internasional dan tindak pidana yang terorganisir
yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat ketidakstabilan pada ekonomi
nasional. Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan
akibat negatif dari pencucian uang. Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini,
bahwa money laundering dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
Kedua,
dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan
bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadangkala
sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan
kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat
dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya
dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara
dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi
penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya
penegakan hukum.
Ketiga,
dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya
sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan,
maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus
pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit
dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan
suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut.
Peranan Bank Indonesia
Terdapat
beberapa ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung
atau tidak langsung dapat mencegah, mengurangi atau memberantas kegiatan money
laundering secara administratif. Khusus ketentuan BI yang dikeluarkan untuk mencegah
kegiatan pencucian uang yang sejalan dengan rekomendasi dari FATF dan Basle
Committee on Banking Supervision adalah Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001
tentang Perubahan Atas PBI No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) yang disempurnakan denganPBI
No.3/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001.
BI
juga telah mengeluarkan SE Ekstern No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 kepada
semua bank perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang
menyampaikan pedoman standar penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang merupakan
acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh Bank dalam menyusun Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Adapun materi muatan yang
diatur dalam PBI ini, al mencakup :
- Kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, identifikasi Nasabah, pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah, serta manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Kewajiban ini termasuk pula apabila calon nasabah bertindak sebagai beneficial owner.
- Pembentukan unit kerja khusus atau penunjukkan pejabat bank yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
- Larangan bank untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah.
- Kewajiban bank menatausahakan dokumen mengenai identifikasi nasabah dalam jangka waktu 5 tahun sejak nasabah menutup rekening dibank, serta melakukan pengkinian data.
- Kewajiban bank memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan nasabah.
- Kewajiban bank untuk memelihara profil nasabah.
- Kewajiban bank untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada Bank Indonesia kepada BI selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diketahui oleh bank.
- Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang berbadan hukum Indonesia.
- Pengecualian PBI ini bagi walk in customer (nasabah yang tidak mempunyai rekening di bank) sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp. 100.000.000,00 atau nilai yang setara dengan itu.
- Kewajiban bank untuk menyusun kebijakan dan prosedur Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dengan mengacu kepada Pedoman Standar dimaksud.
- Kewajiban bank untuk menerapkan kebijakan mengenal nasabah bagi nasabah baru berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, sejak ditetapkannya pedoman dimaksud.
- Kewajiban bank untuk melaksanakan program pelatihan kepada karyawan Bank mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
- Pengenaan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat 2 UU Perbankan bagi bank yang melanggar PBI ini.
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar