Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 02 Desember 2013

Tulisan Etika Profesi Akuntansi ke 5


PENGARUH GENDER, LOCUS OF CONTROL, INTELLECTUAL CAPITAL, DAN ETHICAL SENSITIVITY TERHADAP PERILAKU ETIS MAHASISWA AKUNTANSI PADA PERGURUAN TINGGI


Etika dalam Bidang Pendidikan Akuntansi
            Isu mengenai etika dalam bidang akuntansi telah lama menjadi diskusi yang cukup panjang dan serius. Akuntan memberi informasi bagi pembuatan keputusan publik. Sebagai profesional, akuntansi dipercaya untuk menyajikan informasi keuangan. Untuk melaksanakan kewajibannya tersebut secara profesional, perilaku seorang akuntan harus konsisten dengan ide-ide etika yang tertinggi (Cohen et al. 1993). Mautz dan Sharaf (1993) telah menyinggung pentingnya ethical conduct ini dalam bidang auditing. Organisasi profesi akuntansi, misalnya American Institute of Cert Public Accountants (AICPA), Institute of Management Accountants (IMA), Association of Government Accountants, dan Institute of Internal Auditor telah merespon isu mengenai etika ini dengan menerbitkan Kode Etik Profesional bagi sektor-sektor publik, swasta, dan nirlaba (Borkowski dan Ugras 1992).
            Di Indonesia, isu mengenai etika dalam area akuntansi juga sudah cukup lama mendapat perhatian yang cukup serius. Draft Kode Etik Akuntan Indonesia sudah disusun jauh sebelum kongres IAI yang pertama, namun baru disahkan untuk pertama kalinya pada Kongres IAI yang kedua dalam bulan Januari 1972 dan mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian dalam setiap kongres (Agoes 1996). Banyak praktisi dan akademisi akuntansi yang sepakat bahwa meningkatnya perilaku tidak etis adalah karena kurangnya perhatian terhadap etika dalam kurikulum bisnis saat ini (Borkowski dan Ugras 1992). Hasil survei Kerr dan Smith (1995) terhadap 224 mahasiswa akuntansi di sebuah universitas besar di Amerika menunjukkan bahwa para mahasiswa sangat yakin bahwa masalah etika merupakan isu utama dalam bidang bisnis dan akuntansi dan kurangnya perhatian di bidang etika akan merusak profesi akuntansi.
            Chua et al (1994) melakukan survei untuk meneliti tentang cakupan materi etika dalam kurikulum akuntansi di New Zealand dan Australia, yang dari hasil surveinya disimpulkan bahwa 82,3% responden menawarkan mata kuliah yang berisi komponen etika, baik di jenjang undergraduate ataupun graduatenya. Dari jumlah tersebut untuk jenjang undergraduate, 63,1%-nya mengintegrasikan beberapa elemen etika ke dalam mata kuliah yang cakupan elemen etikanya paling banyak (dinyatakan oleh 42,6% responden), disusul teori akuntansi (9,8%), dan akuntansi keuangan (8,2%).
            Penelitian serupa yang bertujuan untuk menguji persepsi para pengajar akuntansi (dalam hal ini meliputi Professor, Associate Professor, dan Assistant Professor) terhadap cakupan etika dalam kurikulum akuntansi, juga dilakukan oleh McNair dan Milam dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999). Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa dari 202 profesor yang menjadi respondennya, mayoritas cenderung untuk memasukkan materi etika dalam mata kuliah akuntansi pokok. Bahkan lebih dari 77% dari mereka telah memasukkan materi etika tersebut dalam mata kuliah ya ng diajarkannya.
            Kemudian Hiltebeitel dan Jones (1992) melakukan penelitian dengan eksperimen tentang penilaian instruksi etis dalam pendidikan akuntansi. Penelitian ini dilaksanakan selama dua semester pada tahun ajaran 1989-1990, dengan menggunakan instrumen berupa empat belas daftar prinsip-prinsip perilaku etis yang dikembangkan oleh Lewis (1988). Hasil analisis dari pre-test dan post-test yang dilakukan menunjukkan bahwa pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh pengintagrasian etika ke dalam mata kuliah yang diajarkan. Penelitian Ward dkk. (1993) yang antara lain juga bertujuan untuk menguji sikap Certified Public Accountants (CPAs) berkaitan dengan pendidikan etika, menyimpulkan bahwa instruksi dalam konsep dan literacy etis adalah penting dan seharusnya secara jelas dimasukkan dalam kurikulum akuntansi di semua level pendidikan (Rustiana, 2003). Dalam masalah akuntasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh akuntan yaitu:
  • misstate yaitu mengenai salah saji dalam laporan keuangan.
  • disclosure yaitu mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan.
  • cost-benefit yaitu mengenai beban perusahaan untuk melakukan pengungkapan.
  • responsibility yaitu mengenai tanggung jawab untuk menyajikan laporan            keuangan yang informatif bagi penggunanya (Yulianti dan Fitriany, 2005).

            Beberapa peneliti telah menemukan bahwa perilaku etis dipengaruhi secara signifikan oleh pihak lain yang dihadapi seorang individu dalam lingkungan profesinya tanpa memperhatikan apakah perilakunya sesuai dengan kode etik atu tidak. Tingkat pengaruh itu mungkin dipengaruhi oleh jauh dekatnya hubungan antara organisasi dengan pihak lain yang berkaitan, serta pihak yang berkuasa baik dari dalam, misalnya pimpinan dalam organisasi maupun luar organisasi, misalnya dengan pemerintah, Kantor Akuntan lain, dan sebagainya (Finn et al., 1988:25). Sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Shaub, dan Finn (1993:146) menunjukkan bahwa orientasi etika auditor (yang dibentuk oleh lingkungan budaya dan pengalaman pribadi) tidak hanya berpengaruh terhadap sensitivitas etika auditor namun juga berpengaruh terhadap tingkat komitmen organisasi maupun komitmen profesinya. Profesi akuntan sebagai suatu profesi yang memenuhi syarat-syarat ilmiah, perlu mempunyai Kode Etik, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para langganan/klien, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan masyarakat (Hadibroto,1989:54). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sejak tahun 1973 telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia” yang telah mengalami revisi pada tahun 1986, dan terakhir pada tahun 1994. secara garis besar pedoman-pedoman yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia tidak berbeda dengan kode etik International Federation of Accountants(IFAC), sebuah organisasi internasional yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi akuntan hampir di seluruh dunia. Berdasarkan Pedoman Etika IFAC, syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan (perilaku) seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari integritas, obyektivitas, kebebasan, kepercayaan, standar-standar teknis, kemampuan profesional, dan perilaku etis. Auditor merupakan suatu profesi pent ing untuk dikaji karena diantara tugas-tugas dan tanggung jawab profesi akuntan, tugas yang paling sentral adalah melakukan fungsi atetasi (pengujian). Walaupun manajemen pemeriksa/auditor untuk mengevaluasi dan menguji keterandalan laporan keuangan itu.

Gender dan Perilaku Etis
            Dengan demikian, perlunya pengkajian masalah etika dan moral diakui secara luas oleh para mahasiswa akuntansi. Efek Gender dan Disiplin Ilinu Terhadap Persepsi Etis Betz et al. (1989), sebagaimana dikutip oleh Ameen et at. (1996) menyajikan dua pendekatan alternatif mengenai perbedaan gender dalam menentukan kesungguhan untuk berperilaku tidak etis dalam Iingkungan bisnis, yaitu pendekatan sosialisasi gender (gender socialization approach) dan pendekatan struktural (structural approach). Pendekatan sosialisasi menyatakan bahwa pria dan wanita membawa nilai dan sifat yang berbeda dalam dunia kerja. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender ini akan mempengaruhi pria dan wanita dalam membuat keputusan dan praktik. Pria akan bersaing untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung untuk melanggar aturan-aturan karena mereka memandang pencapaian prestasi sebagai suatu persaingan. Sementara wanita lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tugas dengan baik dan hubungan kerja yang harmonis. Oleh karena itu wanita lebih mungkin untuk lebih patuh pada aturan-aturan dan kurang toleran terhadap individu-individu yang melanggar aturan. Pendekatan struktural menyatakan bahwa perbedaan antara pria dan wanita disebabkan oleh sosialisasi awal terhadap pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan peran lainnya. Sosialisasi awal dipengaruhi oleh imbalan (rewards) dan biaya yang berhubungan dengan peran-peran dalam pekerjaan. Karena sifat dan pekerjaan yang sedang dijalani membentuk perilaku melalui sktruktur imbalan (rewards), pria dan wanita akan merespon isu-isu etika secara sama dalam lingkungan pekerjaan yang sama. Dengan demikian, pendekatan struktural memprediksi bahwa pria dan wanita dalam pekerjaan yang sudah ada atau dalam training untuk pekerjaan-pekerjaan khusus akan menunjukkan prioritas etis yang sama. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mendukung dua pendekatan di atas, yang dengan demikian menimbulkan kesimpulan bahwa penelitian mengenai hubungan gender dengan etika masih tidak konsisten. Ruegger dan King (1992), Galbraith dan Stephenson (1993), Ameen et a (1996), serta Khazanchi (1995) menyatakan bahwa antara gender dengan etika terdapat hubungan yang signifikan. Sedangkan, Sikula dan Costa (1994), Schoderbek dan Deshpande (1996), dan beberapa penelitian yang dikutip oleh Mason dan Mudrack (1996), yaitu Gomez-Meija (1983), Harris (1990), Lacy et at. (1983), serta Posner dan Munson (1981) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara gender dengan etika. Penelitian-penelitian yang membandingkan persepsi etis antara disiplin ilmu akuntansi dan disiplin ilmu lain telah banyak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesadaran etis mahasiswa akuntansi berbeda dibandingkan dengan mahasiswa lain. Profesi akuntansi, bersama-sama dengan profesi lain seperti kedokteran, hukum, dan teknik, adalah profesi yang sangat erat hubungannya dengan masalah etika. Dimulai dan pertengahan abad 19 para anggota profesi-profesi tersebut membentuk asosiasi profesi, menetapkan standar profesional dan persyaratan kurikulum, mengadopsi kode etik, dan memantau prosedur regulasi dan lisensi di dalam negara (O’Clock dan Okleshen 1993). Ross (1988), sebagaimana dikutip oleh O’Clock dan Okleshen (1993), dalam surveinya di Amerika menemukan bahwa profesi akuntan dianggap sebagai salah satu profesi yang paling etis (one of the most ethical professions). Kesadaran beretika pada mahasiswa akuntansi makin dirasakan urgensinya setelah terbitnya SK Mendikbud No. 036 tahun 1994 dimana akuntansi dimasukkan dalam pendidikan profesi. Agoes (1996) menyatakan bahwa setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional. Alasan yang mendasari diperlukannya kode etik sebagai standar perilaku profesional tertinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi terlepas dan yang dilakukan secara perorangan. Kepercayaan masyarakat terhadap kuatitas jasa profesional akan meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi semua kebutuhan. Dengan demikian, sebagai suatu profesi akuntansi harus memiliki kode etik.

Locus of Control dan Perilaku Etis
            Locus of Control (LOC) adalah cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya (Rotter dalam Prasetyo, 2002). Reiss dan Mitra (1998) membagi locus of control menjadi dua, yaitu: internal locus of control adalah cara pandang bahwa segala hasil yang didapat, baik atau buruk adalah karena tindakan, kapasitas dan faktor-faktor dari dalam diri mereka sendiri. External locus of control adalah cara pandang dimana segala hasil yang didapat, baik atau buruk berada di luar kontrol diri mereka tetapi karena faktor luar seperti keberuntungan, kesempatan, dan takdir. Individu yang termasuk dalam kategori ini meletakkan tanggung jawab di luar kendalinya.

Intellectual Capital (Modal Intelektual) dan Perilaku Etis
            Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Intellectual capital adalah materi intelektual (pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekuatan akal kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna (Stewart, 1997).

Ethical Sensitivity (Sensitivitas Etis) dan Perilaku Etis
Riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Bagaimanapun, faktor yang penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etik atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut sensitivitas etika. Keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan masalah moral harus mempunyai konsekuensi buat yang lain dan harus melibatkan pilihan atau kerelaan memilih daru sang pembuat keputusan. Definisi ini jadi memiliki pengertian yang luas, karena keputusan seringkali memiliki konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan untuk memilih hampir selalu merupakan pemberian, walaupun pilihan-pilihan itu seringkali memiliki resiko yang berat. Dalam beberapa hal, banyak keputusan dinilai sebagai keputusan moral hanya karena memiliki kandungan moral, padahal tidak demikian. Seperti yang dikatakan oleh Jones (1991:367), bahwa suatu keputusan dapat dinilai dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan nilai-nilai moral. Sensitivitas etis merupakan kemampuan mahasiswa akuntansi untuk menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan etis (Rustiana, 2003). Sensitivitas etis dalam penelitian ini dikaitkan dengan kegiatan akademis mahasiswa selama dalam proses mendalami pengetahuan akuntasi serta direfleksikan dalam tindakan akademis yang berdampak pada perilaku etis setelah menjadi seorang akuntan. Ratdke (2000) mengemukakan bahwa sensitivitas etis merupakan gambaran atau proksi dari tindakan etis mahasiswa setelah lulus. Sensitivitas merupakan ciri-ciri tindakan yang mendeteksi kemungkinan lulusan dalam berperilaku etis. Apabila sebagai calon akuntan, mahasiswa telah berperilaku tidak etis maka kemungkinan setelah lulus akan berperilaku tidak etis. Hal ini perlu dideteksi sejak awal sebagai awal untuk mencegah perilaku tidak etis melalui cakupan atau muatan kurikulum etika dalam mata kuliah akuntansi, sehingga sebagai akuntan mampu bersaing dan dan bertindak secara profesional. Keputusan etika menjadi rumit untuk dinilai terutama karena peraturanperaturan yang ada tidak secara sempurna dapat menjadi sarana terwujudnya keputusan yang etis. Seringkali terjadi bahwa keputusan yang legal tidak selalu etis. Keadaan yang bias ini seringkali menjadi pemicu adanya masalah-masalah etika.

Sumber :
Febrianty . 2010. “ Pengaruh Gender, Locus of Control, Intellectual Capital, dan Ethical Sensitivity Terhadap Perilaku Etis Mahasiswa Akuntansi Pada Perguruan Tinggi (Survey pada Perguruan Tinggi di Kota Palembang) ”. Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis, Edisi ke IV, November 2010.  Palembang : Universitas Tridinanti. Di unduh dalam http://orasibisnis. files.wordpress.com/2010/11/febrianty_pengaruh-gender-locus-of-control-intellectual-capital-dan-ethical-sensitivity-terhadap-perilaku-etis-mahasiswa-akuntansi-pada-perguruan-tinggi.pdf

1 komentar:

aisya amini chaliq mengatakan...

bisa minta kuesionernya?

Posting Komentar