PENGARUH
GENDER, LOCUS OF CONTROL, INTELLECTUAL CAPITAL, DAN ETHICAL
SENSITIVITY TERHADAP PERILAKU ETIS MAHASISWA AKUNTANSI PADA PERGURUAN
TINGGI
Etika dalam Bidang Pendidikan Akuntansi
Isu mengenai etika dalam bidang
akuntansi telah lama menjadi diskusi yang cukup panjang dan serius. Akuntan
memberi informasi bagi pembuatan keputusan publik. Sebagai profesional,
akuntansi dipercaya untuk menyajikan informasi keuangan. Untuk melaksanakan
kewajibannya tersebut secara profesional, perilaku seorang akuntan harus
konsisten dengan ide-ide etika yang tertinggi (Cohen et al. 1993). Mautz dan
Sharaf (1993) telah menyinggung pentingnya ethical conduct ini dalam
bidang auditing. Organisasi profesi akuntansi, misalnya American
Institute of Cert Public Accountants (AICPA), Institute of Management
Accountants (IMA), Association of Government Accountants, dan Institute
of Internal Auditor telah merespon isu mengenai etika ini dengan
menerbitkan Kode Etik Profesional bagi sektor-sektor publik, swasta, dan
nirlaba (Borkowski dan Ugras 1992).
Di Indonesia, isu
mengenai etika dalam area akuntansi juga sudah cukup lama mendapat perhatian
yang cukup serius. Draft Kode Etik Akuntan Indonesia sudah disusun jauh sebelum
kongres IAI yang pertama, namun baru disahkan untuk pertama kalinya pada
Kongres IAI yang kedua dalam bulan Januari 1972 dan mengalami beberapa
perubahan dan penyesuaian dalam setiap kongres (Agoes 1996). Banyak praktisi
dan akademisi akuntansi yang sepakat bahwa meningkatnya perilaku tidak etis
adalah karena kurangnya perhatian terhadap etika dalam kurikulum bisnis saat
ini (Borkowski dan Ugras 1992). Hasil survei Kerr dan Smith (1995) terhadap 224
mahasiswa akuntansi di sebuah universitas besar di Amerika menunjukkan bahwa
para mahasiswa sangat yakin bahwa masalah etika merupakan isu utama dalam
bidang bisnis dan akuntansi dan kurangnya perhatian di bidang etika akan
merusak profesi akuntansi.
Chua et al (1994) melakukan survei
untuk meneliti tentang cakupan materi etika dalam kurikulum akuntansi di New
Zealand dan Australia, yang dari hasil surveinya disimpulkan bahwa 82,3%
responden menawarkan mata kuliah yang berisi komponen etika, baik di jenjang undergraduate
ataupun graduatenya. Dari jumlah tersebut untuk jenjang undergraduate,
63,1%-nya mengintegrasikan beberapa elemen etika ke dalam mata kuliah yang
cakupan elemen etikanya paling banyak (dinyatakan oleh 42,6% responden),
disusul teori akuntansi (9,8%), dan akuntansi keuangan (8,2%).
Penelitian serupa yang bertujuan
untuk menguji persepsi para pengajar akuntansi (dalam hal ini meliputi Professor,
Associate Professor, dan Assistant Professor) terhadap cakupan etika
dalam kurikulum akuntansi, juga dilakukan oleh McNair dan Milam dalam Ludigdo
dan Machfoedz (1999). Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa dari 202 profesor
yang menjadi respondennya, mayoritas cenderung untuk memasukkan materi etika
dalam mata kuliah akuntansi pokok. Bahkan lebih dari 77% dari mereka telah
memasukkan materi etika tersebut dalam mata kuliah ya ng diajarkannya.
Kemudian Hiltebeitel dan Jones
(1992) melakukan penelitian dengan eksperimen tentang penilaian instruksi etis
dalam pendidikan akuntansi. Penelitian ini dilaksanakan selama dua semester
pada tahun ajaran 1989-1990, dengan menggunakan instrumen berupa empat belas
daftar prinsip-prinsip perilaku etis yang dikembangkan oleh Lewis (1988). Hasil
analisis dari pre-test dan post-test yang dilakukan menunjukkan
bahwa pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh pengintagrasian etika ke
dalam mata kuliah yang diajarkan. Penelitian Ward dkk. (1993) yang antara lain
juga bertujuan untuk menguji sikap Certified Public Accountants (CPAs)
berkaitan dengan pendidikan etika, menyimpulkan bahwa instruksi dalam konsep
dan literacy etis adalah penting dan seharusnya secara jelas dimasukkan
dalam kurikulum akuntansi di semua level pendidikan (Rustiana, 2003). Dalam
masalah akuntasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh akuntan
yaitu:
- misstate yaitu mengenai salah saji dalam laporan keuangan.
- disclosure yaitu mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan.
- cost-benefit yaitu mengenai beban perusahaan untuk melakukan pengungkapan.
- responsibility yaitu mengenai tanggung jawab untuk menyajikan laporan keuangan yang informatif bagi penggunanya (Yulianti dan Fitriany, 2005).
Beberapa peneliti
telah menemukan bahwa perilaku etis dipengaruhi secara signifikan oleh pihak
lain yang dihadapi seorang individu dalam lingkungan profesinya tanpa
memperhatikan apakah perilakunya sesuai dengan kode etik atu tidak. Tingkat
pengaruh itu mungkin dipengaruhi oleh jauh dekatnya hubungan antara organisasi
dengan pihak lain yang berkaitan, serta pihak yang berkuasa baik dari dalam,
misalnya pimpinan dalam organisasi maupun luar organisasi, misalnya dengan pemerintah,
Kantor Akuntan lain, dan sebagainya (Finn et al., 1988:25). Sedangkan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Shaub, dan Finn (1993:146) menunjukkan
bahwa orientasi etika auditor (yang dibentuk oleh lingkungan budaya dan
pengalaman pribadi) tidak hanya berpengaruh terhadap sensitivitas etika auditor
namun juga berpengaruh terhadap tingkat komitmen organisasi maupun komitmen
profesinya. Profesi akuntan sebagai suatu profesi yang memenuhi syarat-syarat
ilmiah, perlu mempunyai Kode Etik, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan
antara akuntan dengan para langganan/klien, antara akuntan dengan sejawatnya,
dan antara profesi dengan masyarakat (Hadibroto,1989:54). Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), sejak tahun 1973 telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia”
yang telah mengalami revisi pada tahun 1986, dan terakhir pada tahun 1994.
secara garis besar pedoman-pedoman yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan
Indonesia tidak berbeda dengan kode etik International Federation of
Accountants(IFAC),
sebuah organisasi internasional yang anggotanya terdiri dari
organisasi-organisasi akuntan hampir di seluruh dunia. Berdasarkan Pedoman
Etika IFAC, syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan didasarkan pada
prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan (perilaku) seorang akuntan dalam
melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari
integritas, obyektivitas, kebebasan, kepercayaan, standar-standar teknis,
kemampuan profesional, dan perilaku etis. Auditor merupakan suatu profesi pent ing
untuk dikaji karena diantara tugas-tugas dan tanggung jawab profesi akuntan,
tugas yang paling sentral adalah melakukan fungsi atetasi (pengujian). Walaupun
manajemen pemeriksa/auditor untuk mengevaluasi dan menguji keterandalan laporan
keuangan itu.
Gender dan Perilaku Etis
Dengan
demikian, perlunya pengkajian masalah etika dan moral diakui secara luas oleh
para mahasiswa akuntansi. Efek Gender dan Disiplin Ilinu Terhadap
Persepsi Etis Betz et al. (1989), sebagaimana dikutip oleh Ameen et at. (1996)
menyajikan dua pendekatan alternatif mengenai perbedaan gender dalam menentukan
kesungguhan untuk berperilaku tidak etis dalam Iingkungan bisnis, yaitu
pendekatan sosialisasi gender (gender socialization approach) dan
pendekatan struktural (structural approach). Pendekatan sosialisasi
menyatakan bahwa pria dan wanita membawa nilai dan sifat yang berbeda dalam
dunia kerja. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender ini akan
mempengaruhi pria dan wanita dalam membuat keputusan dan praktik. Pria akan
bersaing untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung untuk melanggar
aturan-aturan karena mereka memandang pencapaian prestasi sebagai suatu
persaingan. Sementara wanita lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tugas
dengan baik dan hubungan kerja yang harmonis. Oleh karena itu wanita lebih
mungkin untuk lebih patuh pada aturan-aturan dan kurang toleran terhadap
individu-individu yang melanggar aturan. Pendekatan struktural menyatakan bahwa
perbedaan antara pria dan wanita disebabkan oleh sosialisasi awal terhadap
pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan peran lainnya. Sosialisasi awal dipengaruhi
oleh imbalan (rewards) dan biaya yang berhubungan dengan peran-peran
dalam pekerjaan. Karena sifat dan pekerjaan yang sedang dijalani membentuk
perilaku melalui sktruktur imbalan (rewards), pria dan wanita akan
merespon isu-isu etika secara sama dalam lingkungan pekerjaan yang sama. Dengan
demikian, pendekatan struktural memprediksi bahwa pria dan wanita dalam
pekerjaan yang sudah ada atau dalam training untuk pekerjaan-pekerjaan
khusus akan menunjukkan prioritas etis yang sama. Beberapa penelitian yang
telah dilakukan mendukung dua pendekatan di atas, yang dengan demikian
menimbulkan kesimpulan bahwa penelitian mengenai hubungan gender dengan
etika masih tidak konsisten. Ruegger dan King (1992), Galbraith dan Stephenson
(1993), Ameen et a (1996), serta Khazanchi (1995) menyatakan bahwa antara gender
dengan etika terdapat hubungan yang signifikan. Sedangkan, Sikula dan Costa
(1994), Schoderbek dan Deshpande (1996), dan beberapa penelitian yang dikutip
oleh Mason dan Mudrack (1996), yaitu Gomez-Meija (1983), Harris (1990), Lacy et
at. (1983), serta Posner dan Munson (1981) menyatakan tidak ada hubungan yang
signifikan antara gender dengan etika. Penelitian-penelitian yang membandingkan
persepsi etis antara disiplin ilmu akuntansi dan disiplin ilmu lain telah
banyak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesadaran etis mahasiswa
akuntansi berbeda dibandingkan dengan mahasiswa lain. Profesi akuntansi,
bersama-sama dengan profesi lain seperti kedokteran, hukum, dan teknik, adalah
profesi yang sangat erat hubungannya dengan masalah etika. Dimulai dan
pertengahan abad 19 para anggota profesi-profesi tersebut membentuk asosiasi
profesi, menetapkan standar profesional dan persyaratan kurikulum, mengadopsi kode
etik, dan memantau prosedur regulasi dan lisensi di dalam negara (O’Clock dan
Okleshen 1993). Ross (1988), sebagaimana dikutip oleh O’Clock dan Okleshen
(1993), dalam surveinya di Amerika menemukan bahwa profesi akuntan dianggap
sebagai salah satu profesi yang paling etis (one of the most ethical
professions). Kesadaran beretika pada mahasiswa akuntansi makin dirasakan
urgensinya setelah terbitnya SK Mendikbud No. 036 tahun 1994 dimana akuntansi
dimasukkan dalam pendidikan profesi. Agoes (1996) menyatakan bahwa setiap
profesi yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat harus memiliki kode
etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang
perilaku profesional. Alasan yang mendasari diperlukannya kode etik sebagai
standar perilaku profesional tertinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan
akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi terlepas
dan yang dilakukan secara perorangan. Kepercayaan masyarakat terhadap kuatitas
jasa profesional akan meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan
memenuhi semua kebutuhan. Dengan demikian, sebagai suatu profesi akuntansi
harus memiliki kode etik.
Locus of Control dan Perilaku Etis
Locus of Control (LOC) adalah
cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak
dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya (Rotter
dalam Prasetyo, 2002). Reiss dan Mitra (1998) membagi locus of control menjadi
dua, yaitu: internal locus of control adalah cara pandang bahwa segala
hasil yang didapat, baik atau buruk adalah karena tindakan, kapasitas dan
faktor-faktor dari dalam diri mereka sendiri. External locus of control adalah
cara pandang dimana segala hasil yang didapat, baik atau buruk berada di luar
kontrol diri mereka tetapi karena faktor luar seperti keberuntungan,
kesempatan, dan takdir. Individu yang termasuk dalam kategori ini meletakkan
tanggung jawab di luar kendalinya.
Intellectual Capital (Modal Intelektual) dan Perilaku Etis
Menyikapi mengapa modal intelektual
didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu
organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena
pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat
pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus
mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge
society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam
masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning
capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis
intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan
karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi
aktor utamanya. Intellectual capital adalah materi intelektual
(pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat
digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekuatan akal kolektif
atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna (Stewart, 1997).
Ethical Sensitivity (Sensitivitas Etis) dan Perilaku Etis
Riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para
akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Bagaimanapun,
faktor yang penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para
individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya
nilai-nilai etik atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut
sensitivitas etika. Keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan masalah moral
harus mempunyai konsekuensi buat yang lain dan harus melibatkan pilihan atau
kerelaan memilih daru sang pembuat keputusan. Definisi ini jadi memiliki
pengertian yang luas, karena keputusan seringkali memiliki konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan
untuk memilih hampir selalu merupakan pemberian, walaupun pilihan-pilihan itu
seringkali memiliki resiko yang berat. Dalam beberapa hal, banyak keputusan
dinilai sebagai keputusan moral hanya karena memiliki kandungan moral, padahal
tidak demikian. Seperti yang dikatakan oleh Jones (1991:367), bahwa suatu
keputusan dapat dinilai dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat
dengan memperhitungkan atau memasukkan nilai-nilai moral. Sensitivitas etis
merupakan kemampuan mahasiswa akuntansi untuk menyadari nilai-nilai etika atau
moral dalam suatu keputusan etis (Rustiana, 2003). Sensitivitas etis dalam
penelitian ini dikaitkan dengan kegiatan akademis mahasiswa selama dalam proses
mendalami pengetahuan akuntasi serta direfleksikan dalam tindakan akademis yang
berdampak pada perilaku etis setelah menjadi seorang akuntan. Ratdke (2000)
mengemukakan bahwa sensitivitas etis merupakan gambaran atau proksi dari
tindakan etis mahasiswa setelah lulus. Sensitivitas merupakan ciri-ciri
tindakan yang mendeteksi kemungkinan lulusan dalam berperilaku etis. Apabila sebagai
calon akuntan, mahasiswa telah berperilaku tidak etis maka kemungkinan setelah
lulus akan berperilaku tidak etis. Hal ini perlu dideteksi sejak awal sebagai
awal untuk mencegah perilaku tidak etis melalui cakupan atau muatan kurikulum
etika dalam mata kuliah akuntansi, sehingga sebagai akuntan mampu bersaing dan
dan bertindak secara profesional. Keputusan etika menjadi rumit untuk dinilai
terutama karena peraturanperaturan yang ada tidak secara sempurna dapat menjadi
sarana terwujudnya keputusan yang etis. Seringkali terjadi bahwa keputusan yang
legal tidak selalu etis. Keadaan yang bias ini seringkali menjadi pemicu adanya
masalah-masalah etika.
Sumber
:
Febrianty
. 2010. “ Pengaruh Gender, Locus of Control, Intellectual Capital, dan Ethical
Sensitivity Terhadap Perilaku Etis Mahasiswa Akuntansi Pada Perguruan Tinggi (Survey pada Perguruan Tinggi di Kota
Palembang) ”. Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis, Edisi ke IV, November 2010. Palembang : Universitas
Tridinanti. Di unduh dalam http://orasibisnis. files.wordpress.com/2010/11/febrianty_pengaruh-gender-locus-of-control-intellectual-capital-dan-ethical-sensitivity-terhadap-perilaku-etis-mahasiswa-akuntansi-pada-perguruan-tinggi.pdf
1 komentar:
bisa minta kuesionernya?
Posting Komentar