Kebijakan Pangan Indonesia Salah
Bongkar muat pupuk urea di Jakarta Utara, Selasa
(18/10/2011). Ketersediaan pupuk di pasaran dengan harga yang terjangkau petani
menjadi salah satu pendukung swasembada beras untuk meningkatkan ketahanan
pangan nasional dari gejolak harga dan kerawanan pangan di dunia.
Kamis, 11 Oktober 2012
JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan
pangan Indonesia mendapat kritikan pedas. Adalah Organisasi untuk Kerja Sama
dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang menilai kebijakan ketahanan pangan
Indonesia salah arah. Akibatnya, meski angka kemiskinan menurun, jumlah
penduduk yang kekurangan gizi masih cukup besar.
Penilaian ini berdasarkan hasil
kajian kebijakan pertanian Indonesia alias review of agricultural policies Indonesia
yang dirilis OECD, kemarin. Ken Ash, Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD,
mengatakan, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan
komoditas lain yang bernilai tinggi, seperti tanaman buah, sayuran, dan tanaman
perkebunan. "Komoditas ini bisa meningkatkan penghasilan dan akses pangan
bagi banyak rumah tangga tani," katanya, Rabu (10/10/2012).
Maka dari itu, OECD menyarankan
Indonesia segera meninggalkan arah pencapaian swasembada karena membutuhkan
dana besar, seperti untuk subdisi pupuk serta perlindungan pasar impor dan
ekspor. Padahal, komoditas pangan yang dikembangkan untuk mencapai swasembada
justru tidak berdaya saing tinggi.
"Proteksi terhadap impor produk
pertanian juga menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi laju
produktivitas pertanian, dan membebani biaya pangan bagi rakyat miskin,"
papar Ken.
Selain
itu, OECD menyebut, pertanian Indonesia terkena dampak negatif dari penanaman
modal yang rendah. Akan tetapi, rendahnya penanaman modal bisa diatasi dengan
mempercepat registrasi lahan dan menyederhanakan sistem kepemilikan lahan.
Jadi pertimbangan
OECD juga mencatat, selama periode
2006-2010, dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian rata-rata hanya 9
persen dari total nilai produksi yang diterima petani. "Untuk itu, kami
usulkan agar dilakukan reformasi yang bisa memperbaiki efisiensi bagi
petani," terang Ken.
Tahlim Sudaryanto, Staf Ahli Menteri
Pertanian bidang Kerja Sama Internasional, merespons positif hasil kajian OECD
itu. Rekomendasi OECD itu akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk perbaikan.
Akan tetapi, penilaian dan saran dari OECD ini tidak bisa serta-merta mengubah
kebijakan pangan nasional secara cepat. Pemerintah akan menggunakannya sebagai
kajian kebijakan jangka panjang.
Sutrisno Iwantono, Ketua
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mengatakan, penilaian OECD bahwa
kebijakan pertanian kita salah arah tidak sepenuhnya benar. HKTI menilai, OECD
adalah lembaga dari negara maju yang memiliki kepentingan atas Indonesia.
"Pemerintah harus bisa memilah rekomendasi mana yang baik dan tidak bagi
Indonesia," ujarnya.
Dunduh
: Senin, 22 Oktober 2012 – Pukul 19.47 WIB
Analisis
:
Saya
setuju dengan pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa kebijakan pangan
Indonesia salah. Karena sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan alam
berlimpah serta komoditas pangan yang beraneka ragam, semestinya Indonesia
memiliki keunggulan dalam bidang pertanian. Namun sampai saat ini
kebutuhan pangan Indonesia masih dicukupi dengan impor dari Vietnam ,Thailand,
Australia maupun New Zealand. Apalagi pada era pasar bebas, Indonesia
telah menjadi tujuan pasar utama dari produk pertanian asing yang telah membanjiri
pasar Indonesia, sehingga telah menyisihkan produk pertanian lokal.
Kualitas hasil pertanian impor lebih unggul dan memiliki
harga yang kompetitif, sehingga petani lokal tidak berdaya dalam persaingan
pasar bebas. Sistem pasar bebas sebagai kebijakan kepemimpinan saat ini
mendorong sikap kaum elit di Indonesia untuk ikut mengagumi pasar bebas.
Kebijakan pasar bebas secara perlahan telah mengganti dan menggeser
kedaulatan rakyat, sehingga akses rakyat dalam memasarkan produksi pertanian
semakin terbatas, kalah bersaing dari petani-petani manca negara. Oleh
karena itu, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan nasib petani Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar