Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 31 Oktober 2012

Kebijakan Pangan Indonesia




Kebijakan Pangan Indonesia Salah
Bongkar muat pupuk urea di Jakarta Utara, Selasa (18/10/2011). Ketersediaan pupuk di pasaran dengan harga yang terjangkau petani menjadi salah satu pendukung swasembada beras untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dari gejolak harga dan kerawanan pangan di dunia.


Kamis, 11 Oktober 2012


            JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pangan Indonesia mendapat kritikan pedas. Adalah Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang menilai kebijakan ketahanan pangan Indonesia salah arah. Akibatnya, meski angka kemiskinan menurun, jumlah penduduk yang kekurangan gizi masih cukup besar.
            Penilaian ini berdasarkan hasil kajian kebijakan pertanian Indonesia alias review of agricultural policies Indonesia yang dirilis OECD, kemarin. Ken Ash, Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD, mengatakan, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan komoditas lain yang bernilai tinggi, seperti tanaman buah, sayuran, dan tanaman perkebunan. "Komoditas ini bisa meningkatkan penghasilan dan akses pangan bagi banyak rumah tangga tani," katanya, Rabu (10/10/2012).
            Maka dari itu, OECD menyarankan Indonesia segera meninggalkan arah pencapaian swasembada karena membutuhkan dana besar, seperti untuk subdisi pupuk serta perlindungan pasar impor dan ekspor. Padahal, komoditas pangan yang dikembangkan untuk mencapai swasembada justru tidak berdaya saing tinggi.  
            "Proteksi terhadap impor produk pertanian juga menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi laju produktivitas pertanian, dan membebani biaya pangan bagi rakyat miskin," papar Ken.
Selain itu, OECD menyebut, pertanian Indonesia terkena dampak negatif dari penanaman modal yang rendah. Akan tetapi, rendahnya penanaman modal bisa diatasi dengan mempercepat registrasi lahan dan menyederhanakan sistem kepemilikan lahan.

Jadi pertimbangan
            OECD juga mencatat, selama periode 2006-2010, dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian rata-rata hanya 9 persen dari total nilai produksi yang diterima petani. "Untuk itu, kami usulkan agar dilakukan reformasi yang bisa memperbaiki efisiensi bagi petani," terang Ken.
            Tahlim Sudaryanto, Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Kerja Sama Internasional, merespons positif hasil kajian OECD itu. Rekomendasi OECD itu akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk perbaikan. Akan tetapi, penilaian dan saran dari OECD ini tidak bisa serta-merta mengubah kebijakan pangan nasional secara cepat. Pemerintah akan menggunakannya sebagai kajian kebijakan jangka panjang.
            Sutrisno Iwantono, Ketua  Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mengatakan, penilaian OECD bahwa kebijakan pertanian kita salah arah tidak sepenuhnya benar. HKTI menilai, OECD adalah lembaga dari negara maju yang memiliki kepentingan atas Indonesia. "Pemerintah harus bisa memilah rekomendasi mana yang baik dan tidak bagi Indonesia," ujarnya.

Dunduh             : Senin, 22 Oktober 2012 – Pukul 19.47 WIB
Analisis             :
Saya setuju dengan pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa kebijakan pangan Indonesia salah. Karena sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan alam berlimpah serta komoditas pangan yang beraneka ragam, semestinya Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian.   Namun sampai saat ini kebutuhan pangan Indonesia masih dicukupi dengan impor dari Vietnam ,Thailand, Australia maupun New Zealand. Apalagi pada era pasar bebas, Indonesia telah menjadi tujuan pasar utama dari produk pertanian asing yang telah membanjiri pasar Indonesia, sehingga telah menyisihkan produk pertanian lokal.    Kualitas hasil pertanian impor lebih unggul dan memiliki harga yang kompetitif, sehingga petani lokal tidak berdaya dalam persaingan pasar bebas.  Sistem pasar bebas sebagai kebijakan kepemimpinan saat ini mendorong sikap kaum elit di Indonesia untuk ikut mengagumi pasar bebas. Kebijakan pasar bebas secara  perlahan telah mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat, sehingga akses rakyat dalam memasarkan produksi pertanian semakin terbatas, kalah bersaing dari petani-petani manca negara. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan nasib petani Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar